Minggu, 05 Mei 2013

MONUMEN PERS NASIONAL

Gedung Utama Monumen Pers Nasional

           Monumen Pers Nasional awalnya adalah milik kerabat Mangkunegaran yang dahulu bernama Sasana Soeka. Gedung ini dibangun atas prakarsa KGPAA Sri Mangkunegoro VII pada tahun 1918 dan digunakan sebagai balai pertemuan. Gedung ini merupakan merupakan saksi bisu pembentukan organisasi profesi kewartawanan pertama di Indonesia, yaitu PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) pada 9 Februari 1946, tanggal ini ditetapkan pula sebagai Hari Pers Nasional.
            Monumen Pers Nasional diresmikan pada tanggal 9 Februari 1978 oleh Presiden Soeharto. Setelah Departemen Penerangan dilikuidasi, Monumen Pers Nasional menginduk ke BIKN (Badan Informasi Komunikasi Nasional). Monumen Pers Nasional memiliki visi, yaitu terwujudnya pusat rujukan dokumentasi pers nasional berbasis teknologi informasi. Tugas pokok dari Monumen Pers Nasional adalah melaksanakan pelestarian dan pelayanan kepada masyarakat mengenai Monumen Pers Nasional dan produk pers nasional yang bernilai sejarah.
           Beberapa layanan disediakan di Monumen Pers Nasional bagi pengunjung, diantaranya adalah media center, papan baca, perpustakaan, dokumentasi koleksi media cetak yang sudah didigitalisasi, mobil layanan internet, dan sebagainya. Semua pelayanan yang disediakan disini diberikan kepada pengunjung secara cuma-cuma alias gratis. Media center dapat dimanfaatkan oleh pengunjung untuk mengakses internet secara gratis. Kebanyakan pengunjungnya adalah kalangan mahasiswa dan pelajar di kota Surakarta. Selain media center, Monumen Pers Nasional juga memberikan layanan internet gratis bagi masyarakat melalui Mobil Pelayanan Internet Kecamatan (MPLIK). Fasilitas dari Kementerian Komunikasi dan Informatika ini dapat memberikan layanan internet gratis secara mobile. Kemudian ada pula papan baca Monumen Pers Nasional yang terletak di depan gedung ini yang memasang surat kabar terbaru tiap harinya, sehingga masyarakat umum dapat membaca berita-berita terbaru disana.
Monumen Pers Nasional juga dilengkapi dengan perpustakaan yang memiliki koleksi buku kurang lebih sebanyak 12.000 eksemplar. Perpustakaan ini buka setiap hari Senin-Jumat sesuai jam kerja. Pengunjung perpustakaan ini sebagian besar mahasiswa dan pelajar, namun tidak jarang pula ada masyarakat umum yang mengunjungi perpustakaan ini untuk memanfaatkan waktu luangnya untuk membaca buku koleksi perpustakaan Monumen Pers Nasional. Selain itu juga terdapat ruang dokumentasi yang menyimpan lebih dari satu juta eksemplar bukti terbit media cetak dari seluruh Indonesia sejak zaman penjajahan Belanda hingga sekarang. Pengunjung juga dapat melihat hasil digitalisasi koleksi bukti terbit media dengan monitor layar sentuh (touchscreen) di ruang dokumen digital.
Selain beberapa layanan yang diberikan oleh Monumen Pers Nasional kepada pengunjung secara gratis, di dalam gedung ini juga terdapat berbagai macam koleksi benda pers yang bersejarah. Di beranda depan sebelum pintu masuk gedung utama dipajang sebuah kentongan yang bernama Kenthongan Kyai Swara Gugah. Kentongan ini melambangkan alat informasi yang digunakan masyarakat di masa lalu.
Setelah memasuki pintu masuk kita akan disuguhkan oleh patung-patung perintis pers di Indonesia. Di ruang pameran terdapat koleksi mesin-mesin ketik kuno yang dipajang secara rapi. Kemudian ada pula microfilm, pemancar radio kambing, telepon antar stasiun, portable mixer, kamera kuno, koleksi Bali Post, koleksi etnografi daerah Maluku, kamera wartawan Udin, baju wartawan jaman dahulu, hingga peralatan terjun payung milik wartawan TVRI, Trisno Yuwono. Di bagian belakang Monumen Pers Nasional terdapat lima buah diorama yang menggambarkan perkembangan dan sejarah pers di Indonesia.

LOKANANTA, RIWAYATMU KINI...


Studio Rekaman Lokananta, Solo, Jawa Tengah

Lokananta merupakan studio rekaman pertama dan tertua di Indonesia yang menjadi saksi bisu sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Pada awalnya studio rekaman Lokananta merupakan bagian dari jawatan RRI (Radio Republik Indonesia) yang bertugas memproduksi piringan hitam untuk kebutuhan bahan siaran RRI di seluruh Indonesia. Namun pada saat ini Lokananta menjadi salah satu cabang dari Perum Percetakan Negara RI (PNRI).
Lokananta diresmikan pada tanggal 29 Oktober tahun 1956 oleh Harmoko, Menteri Penerangan pada saat itu. Gedung yang sangat bersejarah ini memiliki peran sentral terhadap dunia musik di tanah air. Lokananta sendiri memiliki arti, yaitu seperangkat gamelan yang dapat berbunyi sendiri tanpa ada yang menabuh. Gedung ini terletak di Jalan Ahmad Yani no. 379, Solo, Jawa Tengah. Bangunan perusahaan rekaman milik pemerintah ini mulai memprihatinkan keadaannya karena telah termakan usia, sehingga terlihat seperti tidak terawat dan kusam. Ada dua gedung utama yang dimiliki oleh Lokananta, yaitu gedung lama dan gedung baru. Keduanya dipisahkan oleh sebuah jalan yang mengarah ke gedung lain milik Lokananta yang saat ini berubah fungsi sebagai lapangan futsal yang disewakan untuk umum.
Gedung lama Lokananta berbentuk persegi dengan banyak ruang. Di bagian beranda ada toko yang menjual produk rekaman seperti kaset atau CD, tepat di seberangnya adalah ruang untuk pemesanan. Masuk ke dalam, terdapat ruang mastering. Disinilah koleksi-koleksi piringan hitam ditransfer ke dalam bentuk CD. Di seberangnya, ruang pimpinan berderetan dengan museum mini yang menyimpan benda-benda memorabilia seperti alat pemutar piringan hitam yang sudah rusak, mesin pengganda kaset, dan beberapa koleksi piringan hitam yang dipajang di dinding. Dua ruang penyimpanan koleksi piringan hitam dan kaset video persis berada setelahnya.
         Sedangkan yang disebut gedung baru adalah ruang studio rekaman. Dilihat dari prasasti peresmian yang terpampang di dekat pintu masuk studio, gedung ini berdiri pada tahun 1980. Di dalam studio rekaman terdapat ruang untuk rekaman dan ruang operator. Di dalam ruang operator terdapat seperangkat sound system, komputer, serta sebuah mixer besar buatan Eropa. Menurut Pak Bemby, salah satu pegawai Lokananta yang bekerja di bagian re-mastering, studio rekaman disini tidak jauh berbeda dan tidak kalah hebat dengan studio rekaman Abbey Road milik grup band legendaris The Beatles asal kota Liverpool, Inggris.
            Teknologi yang diterapkan Lokananta ketika itu termasuk salah satu yang terbaik di Asia. Disana tersimpan pula banyak sekali koleksi berharga. Diantaranya adalah rekaman pidato Bung Karno pada 17 Agustus 1945 serta karya-karya masterpiece Gesang, Waldjinah, Buby Chen, Titiek Puspa, Bing Slamet, dan permainan gending karawitan gubahan dalang ternama Ki Narto Sabdho. Ada lebih dari 40.000 piringan hitam musik tradisional dari seluruh Indonesia berada disana. Ribuan master rekaman berbagai genre musik, mulai dari musik pop, keroncong, hingga jazz sejak tahun 1950-an hingga tahun 1980-an disimpan disana.
 Koleksi-koleksi tersebut beserta puluhan ribu koleksi lainnya, kondisinya cukup memprihatinkan karena disimpan dengan perawatan seadanya. Keping piringan hitam yang sensitif pada suhu daerah tropis hanya disimpan dalam ruangan dengan sirkulasi udara yang minim. Untuk mengusir bau apek yang ditimbulkan biasanya pegawai disana masih menggunakan cara tradisional, yaitu hanya mencampur bubuk kopi dan kamper (kapur barus) di sekitar area piringan hitam diletakkan.


Salah Satu Sudut Ruang Penyimpanan Piringan Hitam

Masa keemasan Lokananta terjadi pada dekade 1970-1980. Saat itu Lokananta sudah beralih menggunakan kaset karena waktu itu penjualan piringan hitam menurun drastis. Seiring dengan berjalannya waktu, kisah kejayaan Lokananta semakin lama semakin menghilang. Hampir semua dokumen berharga yang tersimpan disana kondisinya sangat kurang layak karena minimnya dana yang dimiliki oleh Lokananta. Beberapa koleksi pun dijual secara terpaksa untuk menutupi biaya operasional.
Salah satu kendala yang dialami oleh Lokananta sehingga membuat perusahaan rekaman ini pailit pada tahun 1990-an adalah masalah pembajakan. Penjualan kaset Lokananta sejak saat itu menurun drastis. Ditemukan fakta bahwa banyak kaset Lokananta yang dibajak, khususnya lagu-lagu populer yang banyak diminati masyarakat pada saat itu.
Menurut Pak Pendi, kepala studio rekaman Lokananta, nasib Lokananta kini sebagai perusahaan musik milik negara bisa dibilang memang tidak terlalu baik. Dengan karyawan yang berjumlah 19 orang dan penghasilan studio rekaman yang tak seberapa, gaji mereka tergolong kecil. Beberapa masih berada di bawah batas UMR (Upah Minimum Regional). Sehingga mereka harus memutar otak agar bisa bertahan. Lahan kosong di belakang gedung lama pun dimanfaatkan sebagai lapangan futsal yang biasa disewakan untuk umum. Di depan gedung utama juga terdapat ‘Rumah Makan Pak No’ yang berdiri diatas lahan milik Lokananta yang disewakan tahunan.
Sedikit demi sedikit mulai banyak musisi dan artis Indonesia yang mengunjungi dan melakukan rekaman di Lokananta seperti Efek Rumah Kaca, Glenn Fredly, Captain Jack, dan sebagainya. Sangat diharapkan hal ini bisa dijadikan sebagai sebuah titik balik dari kebangkitan Lokananta sebagai studio rekaman pertama di Indonesia. Peran serta dan kepedulian dari pemerintah sebagai pemilik studio rekaman ini sangat dibutuhkan. Lokananta merupakan salah satu aset berharga yang dimiliki oleh bangsa ini. Identitas musik kita ada di sini. Jangan ketika keroncong diklaim Malaysia, kita baru menoleh Lokananta untuk mencari bukti-buktinya.